Toxic Positivity: Ketika ‘Semangat Terus’ Jadi Racun Emosional
“Semangat dong!”
“Yakin bisa, jangan mikirin yang negatif.”
“Ayo dong, harus bahagia terus!”
Kalimat-kalimat di atas terdengar familiar dan… positif, bukan? Tapi, gimana kalau ternyata di balik semua kata penyemangat itu, ada racun tak terlihat yang bisa menyakiti mental kita sendiri maupun orang lain?
Itulah yang disebut dengan toxic positivity — kondisi ketika hal-hal positif malah jadi racun emosional. Serius, ini nyata dan sudah terbukti secara psikologis.
Yuk, kita bongkar tuntas kenapa sesuatu yang kelihatannya baik bisa berubah jadi hal yang buruk.
Apa Itu Toxic Positivity?

Sumber Gambar :
Toxic positivity adalah sikap atau dorongan untuk selalu bersikap positif dan menolak emosi negatif, tidak peduli seberat apa pun situasinya. Intinya, semua harus terlihat “baik-baik saja,” walaupun sebenarnya tidak.
Contoh sederhananya seperti ini:
- Seseorang baru saja kehilangan orang tua, lalu dikatakan, “Setidaknya kamu masih punya saudara.”
- Temanmu cerita bahwa dia burnout karena kerja, lalu kamu bilang, “Harusnya kamu bersyukur masih punya pekerjaan.”
Niatnya mungkin baik—ingin memberi semangat. Tapi dampaknya bisa bikin orang merasa diabaikan, tidak didengar, bahkan merasa bersalah karena merasa sedih.
Kenapa Toxic Positivity Bisa Jadi Berbahaya?
Secara ilmiah dan psikologis, emosi negatif itu penting. Emosi seperti sedih, kecewa, marah, takut—semuanya punya fungsi evolusioner untuk menjaga mental dan keselamatan kita.
Ketika kita memaksa diri atau orang lain untuk selalu “positif”, maka:
- Emosi tertahan dan lama-lama bisa meledak.
- Rasa bersalah muncul karena merasa “nggak cukup bersyukur.”
- Hubungan jadi dangkal karena nggak ada ruang untuk saling jujur dan terbuka.
Yang lebih gawat lagi, toxic positivity bisa memperparah depresi karena seseorang merasa terisolasi secara emosional.
Contoh Toxic Positivity dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Di Media Sosial
Kalimat seperti “Selalu tersenyum ya!” atau “Positive vibes only ✨” sering berseliweran di feed Instagram. Sekilas tampak indah, tapi bisa menimbulkan tekanan untuk terlihat bahagia terus, bahkan saat hidup sedang berantakan.
2. Dalam Percakapan Teman
Ketika teman bercerita tentang kesedihan, lalu dibalas dengan “Yakin deh semua ada hikmahnya,” itu bisa mematahkan proses penyembuhan emosinya. Terkadang, orang hanya ingin didengar tanpa langsung diberi “solusi.”
3. Kepada Diri Sendiri
Ungkapan seperti “Aku nggak boleh sedih” atau “Harusnya aku kuat” menunjukkan bahwa kita sendiri menekan emosi. Padahal, menolak merasakan rasa sakit justru memperpanjang penderitaan.
Kenapa Kita Suka Memberi Respon yang “Terlalu Positif”?
Ada beberapa alasan kenapa kita sering secara tidak sadar terjebak dalam toxic positivity:
- Kita tidak nyaman melihat orang lain terluka, jadi ingin cepat-cepat memperbaiki perasaan mereka dengan kalimat positif.
- Kita takut dianggap lemah atau negatif jika terlalu banyak mengungkapkan keluhan.
- Kita belum teredukasi soal pentingnya kesehatan mental, dan masih menganggap emosi negatif sebagai sesuatu yang harus disingkirkan.
Perbedaan Positivity Sehat dan Toxic Positivity
Positivity sehat tetap mengakui adanya rasa sedih, kecewa, atau marah, tapi memberi harapan dan dukungan yang realistis. Sedangkan toxic positivity justru menolak dan mengabaikan emosi itu.
Positivity sehat adalah ketika kamu berkata:
“Aku tahu ini berat, tapi aku akan tetap mendampingimu.”
Toxic positivity berkata:
“Sudahlah, jangan mikirin itu. Harusnya kamu bersyukur.”
Bahaya Jangka Panjang Toxic Positivity
Jika terus-menerus melakukan, toxic positivity bisa menyebabkan:
- Emotional suppression: Emosi yang tekanan, tidak diproses dengan sehat, dan akhirnya muncul dalam bentuk ledakan emosional atau gangguan kecemasan.
- Kesepian emosional: Orang jadi merasa sendiri, karena tidak ada yang benar-benar memahami perasaannya.
- Kehilangan koneksi autentik: Hubungan antarindividu menjadi dangkal dan penuh kepura-puraan karena semua harus terlihat “baik.”
- Menurunnya empati: Kita jadi lebih cepat menghakimi daripada memahami.
Cara Menghindari Toxic Positivity
1. Validasi Perasaan
Alih-alih mengatakan, “Jangan sedih,” cobalah mengatakan, “Aku paham kalau itu menyakitkan.” Validasi tidak berarti kamu menyetujui, tapi kamu menghormati perasaan seseorang.
2. Jujur pada Diri Sendiri
Kalau kamu merasa marah, kecewa, atau sedih—akui saja. Itu bukan kelemahan, itu kemanusiaan. Menyembunyikan emosi tidak akan membuatnya hilang.
3. Jadi Pendengar yang Baik
Saat orang bercerita, tahan keinginan untuk langsung memberi nasihat. Kadang yang kita butuhkan bukan solusi, tapi kehadiran yang tulus.
4. Sampaikan Empati dengan Tulus
Kata-kata seperti, “Aku ada di sini kalau kamu butuh,” atau “Aku tahu ini nggak mudah,” bisa jauh lebih menyembuhkan dibanding kalimat klise “semangat terus ya.”
Emosi Negatif Itu Sah dan Sehat
Banyak orang menganggap emosi negatif sebagai musuh. Padahal, semua emosi punya pesan dan fungsi:
- Sedih menunjukkan bahwa kamu peduli.
- Marah memberi sinyal bahwa ada batas yang melanggar.
- Takut adalah bentuk perlindungan diri.
- Kecewa berarti kamu punya harapan.
Ketika kamu berani merasakan dan mengakui semua ini, kamu tidak melemah—kamu justru tumbuh.
Mengganti Toxic Positivity dengan Dukungan Nyata
Daripada terus menyuruh seseorang “semangat,” lebih baik katakan:
- “Aku nggak tahu harus ngomong apa, tapi aku ada di sini.”
- “Itu pasti berat. Kamu nggak sendiri.”
- “Kalau kamu mau cerita, aku siap dengar.”
Kalimat-kalimat itu sederhana, tapi sangat dalam maknanya.
Mental Health Bukan Tentang Selalu Bahagia
Kesadaran tentang kesehatan mental bukan berarti kita harus bahagia terus. Justru sebaliknya: kita harus tahu kapan harus berhenti, menangis, istirahat, atau bahkan marah—dan tahu itu semua boleh.
Bahagia bukanlah keadaan tetap. adalah suatu salah satu dari banyak emosi yang datang dan pergi.
Bahagia Itu Penting, Tapi Bukan Satu-satunya Emosi yang Sah
Toxic positivity membuat kita merasa harus selalu kuat, ceria, dan penuh semangat. Tapi pada kenyataannya, manusia Terciptakan untuk merasakan semuanya—bahagia, sedih, marah, kecewa, takut, dan lainnya.
Tidak apa-apa jika kamu tidak baik-baik saja hari ini.
Tidak apa-apa jika kamu ingin diam dan merasakan semua kesedihan.
Yang penting adalah kamu memberi ruang bagi dirimu sendiri untuk merasakan dan pulih dengan cara yang sehat.
Quotes Penutup
“Terkadang, yang paling menyembuhkan bukan ‘semangat ya’, tapi ‘aku paham rasanya’.”